Titik Temu

Sebelum kalian, para hati yang akan ku temui dikemudian hari hancur dan terluka. Ku ucapkan selamat, karena aku secara resmi pensiun hari ini. Sudah ku pikirkan sangat matang perihalnya. Tidak perlu diteruskan. Ini penyakit berbahaya. Dengan adanya tulisan ini, aku sudah dapat memastikan bahwa aku berada dibawah kesadaran. Biarkan juga aku berkata kepada kawan terdekat, anggaplah sebagai pengakuan. Pengakuan yang sangat naïf. Yang sangat butuh pengawasan dan teguran, seperti peringatan, mungkin.

Untuk para hati yang telah terluka, tercerai berai, hancur, luluh lantah, remuk tak tersisa. Juga untuk hati yang kandas bentuknya, berevolusi hingga bangun dan bangkit menemukan pecahan-pecahan lalu akhirnya hidup lagi. Sehat sentosa. Semuanya, ku ucapkan selamat dan maaf. Selamat yang bermakna: selamat, atas keinginan tulus kalian yang berharap untuk perubahan baik ku, tak ada lagi luka bagimu, dan bagi orang lain setelahmu. Selamat, aku memulai untuk merealisasikannya. Maaf yang bermakna: keputusan ini tidak datang sebelum aku menemuimu. Jika iya, maka kita sudah berada di titik keagungan tertinggi pada bab kesetiaan yang telah lama aku idamkan dalam fase kehidupan. Terang saja, aku hidup dalam tusukan. Tusukan yang asalnya dari dalam. Secara jelas terlihat meruak keluar, mencoba untuk tampil. Tetapi juga merobek lapisan daging hingga kulit terluarku. Aku ingin meluapkannya. Disamping itu aku berdarah, bercucuran. Sangat terasa roma kejahatan dan intoleran. Kali ini bagian tubuh mana lagi yang akan terluka? Ia habis terkoyak dari dalam. Daging pada tubuhku tak ada celah lagi untuk disematkan duri diantaranya. Terlampau banyak duri sudah menempel.

Hari itu, aku berjalan dan menemukan tubuh baru. Dengan keadaan tidak sadar karena koma akut, aku segera meraihnya. Tubuh baru ini sepertinya bisa dijadikan penopang selanjutnya. Tuhan, aku butuhkan kesadaran.

Tubuh itu ku raba setiap jengkalnya, tak lupa juga memeriksa apakah ada duri yang lepas dari dalam. Tubuh ini terlihat hebat, aku belum pernah menemukan yang serupa. Ku ketuk dengan tangan dan akhirnya terperanjat. Denting pantulnya serupa dengan apa yang baja suarakan. Dengan langkah pasti, ku ayunkan tubuh kaku nan kuat itu dari atas tanah dan segera beranjak. “Tuhan, aku yakin esok hari, dan esoknya lagi, akan menjadi hari paling ringan sedunia. Aku kuat sekarang.”

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *